Gelaran “Pentas Moral” yang diadakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menghadirkan suasana berbeda dari konser musik pada umumnya. Bukan sekadar ajang hiburan, acara ini menjadi ruang refleksi bagi para pemusik dan penikmat seni untuk merenungkan peran musik dalam kehidupan sosial dan spiritual. Dengan mengusung tema “Nada, Nurani, dan Kemanusiaan,” acara ini menggabungkan penampilan musik, monolog, dan diskusi interaktif yang menggugah kesadaran akan nilai moral dalam berkarya.
-
Musik Sebagai Cermin Nurani Sosial
Konsep Pentas Moral lahir dari gagasan sekelompok musisi dan pegiat seni yang ingin mengembalikan fungsi musik sebagai media refleksi. Kurator acara, Anang Hapsoro, menyebut bahwa banyak musisi muda kini terlalu fokus pada popularitas dan algoritma media sosial, hingga melupakan esensi pesan dalam karya. “Kami ingin mengingatkan bahwa musik juga punya tanggung jawab moral. Ia bukan hanya soal nada dan irama, tapi juga suara hati,” ujarnya. Berbagai genre tampil dalam satu panggung — dari folk, jazz, hingga eksperimental — menandai keberagaman ekspresi yang tetap berpijak pada nilai kemanusiaan. -
Kolaborasi Lintas Generasi dan Pesan Kemanusiaan
Pentas ini menghadirkan kolaborasi menarik antara musisi lintas generasi, seperti Ebiet G Ade, Mondo Gascaro, Danilla Riyadi, hingga kelompok musik independen Sajama Cut. Mereka membawakan lagu-lagu yang sarat pesan moral, mulai dari kritik sosial, harapan, hingga renungan spiritual. Salah satu momen mengharukan terjadi saat seluruh penampil menyanyikan lagu Untuk Kita Renungkan bersama-sama, yang disambut tepuk tangan panjang penonton. “Kolaborasi ini menunjukkan bahwa musik lintas zaman tetap punya benang merah: kepedulian terhadap manusia,” tutur Mondo usai tampil. -
Refleksi Melalui Monolog dan Diskusi Publik
Selain musik, Pentas Moral juga menampilkan sesi monolog dan diskusi publik yang dipandu oleh sastrawan dan pengamat budaya. Dalam salah satu segmen, Dewi Candraningrum menyampaikan orasi budaya tentang peran seniman dalam menjaga nurani bangsa. Ia menekankan bahwa kreativitas harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial. “Seniman sejati tidak berhenti pada karya yang indah, tapi juga menyentuh nurani masyarakat,” ujarnya. Diskusi ini kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, di mana penonton turut berbagi pandangan tentang bagaimana musik bisa menjadi ruang healing dan refleksi moral. -
Respon Positif dan Antusiasme Penonton
Acara ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Tiket yang dijual terbatas habis hanya dalam dua hari, menunjukkan tingginya minat publik terhadap acara dengan nilai filosofis seperti ini. Banyak penonton yang datang bukan hanya untuk menikmati musik, tetapi juga mencari pengalaman batin. “Saya merasa seperti diajak merenung lewat nada,” ujar Fajar, salah satu penonton asal Depok. Pihak penyelenggara mengaku akan menjadikan Pentas Moral sebagai agenda tahunan agar terus menjadi wadah bagi musisi dan publik untuk bertemu dalam ruang yang lebih bermakna. -
Meneguhkan Musik sebagai Bahasa Kemanusiaan
Pada penutupan acara, seluruh musisi berdiri di atas panggung bersama-sama, membawa pesan sederhana namun kuat: musik bukan sekadar hiburan, melainkan bahasa universal kemanusiaan. Melalui harmoni dan lirik, para seniman diingatkan untuk tidak melupakan tanggung jawab moralnya di tengah arus industri. “Musik adalah doa, dan setiap nada adalah pesan untuk kebaikan,” kata Ebiet G Ade yang menjadi penampil terakhir malam itu. Ia berharap generasi muda musisi tetap berani menulis lagu yang jujur dan sarat makna, bukan hanya mengikuti tren semata.
Pentas Moral menegaskan bahwa panggung musik juga bisa menjadi ruang kontemplatif, tempat di mana seniman dan publik bertemu dalam kesadaran bersama. Di tengah dunia yang semakin sibuk mengejar viralitas, acara ini menjadi oase — mengingatkan kembali bahwa seni sejatinya lahir dari hati yang peduli, bukan sekadar ambisi untuk didengar.